BAB I
PENDAHULUAN
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir-akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, menjamurnya kasus korupsi, terkikisnya rasa solidaritas telah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Bisa dikatakan saat ini negara kita sedang dilanda wabah “demoralisasi akut” yang menunggu untuk segera di atasi, jika tidak ingin negara ini menjadi semakin hancur. Dari sini kemudian muncul pertanyaan ada apa dengan pendidikan kita? Rupanya usaha perbaikan di bidang pendidikan dirasa tidak hanya cukup dengan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan saja, melainkan membutuhkan perencanaan kurikulum yang sangat matang yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa ini. Untuk itu perlu disusun suatu perencanaan kurikulum pendidikan karakter untuk diterapkan di setiap satuan pendidikan kita mengingat berbagai macam perilaku yang tidak mendidik telah merasuk dalam sendi-sendi penyelenggaraan pendidikan dan kehidupan masyarakat kita. Persoalan yang tidak kalah seriusnya juga adalah praktek-praktek kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari nyontek di ujian sampai plagiarisme. Kalau sebagai siswa sudah terbiasa dengan tipu menipu alias manipulasi ujian.
Dunia pendidikan turut bertanggung jawab dalam menghasilkan lulusan-lulusan yang dari segi akademis sangat OK tetapi dari segi karakter ternyata masih bermasalah.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh dalam peringatan Hardiknas tahun ini mengatakan"Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas. Pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan," ujar Nuh. Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini menitikberatkan pada pendidikan karakter "Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa". Saya sangat setuju. Pintar tetapi karakternya buruk jelas akan sangat bermasalah. Pintar tetapi tidak bisa menghargai sesama, tidak menghargai nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan maka akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain bahkan dalam scope yang lebih luas bagi bangsa kita ini.
Pengetahuan yang tinggi tetapi tanpa didasari oleh pemahaman tentang nilai-nilai yang benar maka hanya akan memberi kesempatan untuk bertumbuhnya benih-benih kejahatan yang akan termanifestasi dalam berbagai bentuk.
Masalah-masalah yang terjadi di negara kita sebenarnya menyangkut masalah karakter. Kekerasan, korupsi, manipulasi, tokoh atau pemimpin yang seharusnya menjadi teladan dan panutan serta menjadi penegak hukum malah memutarbalikkan hukum. Kita sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter ini. But better late than never. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan pendidikan karakter karena negara kita banyak korupsinya. Ini sih pemikiran yang terlalu pesimis. Masih banyak generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan butuh pendidikan karakter agar di masa depannya dia menjadi orang yang tidak hanya cerdas secara intelek tapi juga karakter.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Berkarakter
Secara bahasa karakter dapat pula dipahami sebagai sifat dasar, kepribadian, perilaku/tingkah laku, dan kebiasaan yang berpola. Perspektif pendidikan karakter adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter peserta didik.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter yaitu:
ü Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
ü Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
ü Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
ü Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
“Kemendiknas telah merancang ‘grand design’ pembelajaran pendidikan karakter. Itu yang harus jadi acuan,” katanya usai seminar nasional “Pengembangan Inovasi Pembelajaran Berbasis Lesson Study”
Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olahhati, olahpikir, olahraga, dan olahrasa-karsa. “Olahhati bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional, olahpikir bermuara pada pengelolaan intelektual, olahraga bermuara pada pengelolaan fisik, sedangkan olahrasa bermuara pada pengelolaan kreativitas.”
B. Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan Pendidikan Karakter meliputi:
· Mendorong kebiasaan dan perilaku yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal, tradisi budaya, kesepaatan sosial dan religiositas agama.
· Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai penerus bangsa.
· Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial.
· Meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
· Agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan pengahargaan harkat dan martabat manusia.
C. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai di bawah ini merupakan uraian berbagai perilaku dasar dan sikap yang diharapkan dimiliki peserta didik sebagai dasar pembentukan karakternya:
- Nilai keutamaan
- Nilai kerja
- Nilai cinta tanah air (patriotisme)
- Nilai demokrasi
- Nilai kesatuan
- Menghidupi nilai moral
- Nilai-nilai kemanusiaan
Nilai-nilai di atas diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka, artinya masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi sekolah. Misalnya: taqwa kepada tuhan, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan persatuan, dapat dipercaya,rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan/citizenship, ketulusan, berani, tekun, integritas, jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama.
Mengingat jam pelajaran yang diterima siswa sudah padat, nilai-nilai tersebut disampaikan dengan cara terintegrasi dalam mata pelajaran yang lain, bukan merupakan mata pelajaran tersendiri.
D. Strategi dan Metodologi Pendidikan Karakter
Strategi yang diterapkan oleh pendidikan karakter yaitu dengan menggunakan strategi terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya. Nilai-nilai karakter dapat disampaikan melalui mata pelajaran: agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), pendidikan jasmani dan olah raga, IPS bahasa Indonesia dan pengembangan diri.
Pendidikan karakter di sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai. Pendidikan karakter agar dapat disebut sebagai integral dan utuh harus menentukan metode yang dipakai, sehingga tujuan pendidikan karakter itu akan semakin terarah dan efektif. Adapun unsur-unsur yag harus dipertimbangkan dalam menentukan metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter antara lain:
Mengajar, yaitu dengan cara mengajarkan nilai-nilai itu sehingga peserta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.
Keteladanan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, dan staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan sebagai model teladan bagi siswa. Karena siswa akan lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat.
Menentukan prioritas, yaitu setiap yang terlibat dalam sebuah lembaga pendidikan yang ingin menekankan pendidikan karakter juga harus memahami secara jernih prioritas nilai apakah yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter dalam satuan pendidikan tertentu.
Praktis Prioritas, yaitu satuan pendidikan harus mempu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai unsur yang ada di dalam sekolah.
Refleksi, yaitu mengadakan semacam pendalaman, refleksi untuk melihat sejauh mana satuan pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
Metode-metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan karakter misalnya dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai (Inculcation Approach), perkembangan moral kognitif, analisis nilai (Values Analysis Approach), klarifikasi nilai, pembelajaran berbuat (Action Learning Approach), Student Active Learning, Developmentally Appropriate Practices, dan Contextual Learning yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan.
E. Penilaian
Penilaian adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan serta perkembangan karakter yang dicapai siswa.
Tujuan penilaian dilakukan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai yang dirumuskan sebagai standar minimal telah dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dihayati, diamalkan, diterapkan dan dipertahankan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Penilaian pendidikan karakter lebih dititikberatkan kepada keberhasilan penerimaan nilai-nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penilaian dapat berbentuk penilaian sikap dan perilaku, baik individu maupun kelompok.
Cara penilaian pendidikan karakter pada pserta didik dilakukan oleh semua guru. Penilaian dilakukan setiap saat, baik pada jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran, di kelas maupun di luar kelas dengan cara pengamatan dan pencatatan. Instrumen penilaian dapat berupa lemabar observasi, lemabar skala sikap, lemabar portofolio, lemabar check list, dan lembar pedoman wawancara.
Informasi yang diperoleh dari berbagai teknik penilaian kemudian dianalisis oleh guru untuk memperoleh gambaran tentang karakter peserta didik. Gambaran menyeluruh tersebut kemudian dilaporkan sebagai suplemen buku rapor oleh wali kelas.
F. Kehidupan Berkarakter-Cerdas
Masing-masing individu memiliki kecerdasan dalam taraf tertentu, dicerminkan dalam prilaku dengan indikator: aktif, obyektif, analitis, aspiratif, kreatif dan inovatif, dinamis dan antisipasif, berpikiran terbuka dan maju, serta mencari solusi. Kecerdasan tersebut di atas diimplementasikan di dalam bidang dan wilayah kehidupan sehari-hari. Secara ideal, kondisi yang diharapkan adalah semua orang berkecerdasan tinggi sehinggakehidupan dalam berbagai bidang dan wilayahnya itu diisi dengan kehidupan berkecerdasan dalam taraf yang tinggi, yaitu:
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang ekonomi; misalnya cerdsa sebagai pedagang atau pebisnis.
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang kemasyarakatan; misalnya cerdas sebagai pemimpin organisasi
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang budaya/seni; misalnya cerdas sebagai seniman teater
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang agama; misalnya cerdas sebagai ulama
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang ilmu dan teknologi; misalnya menjdai pakar antropologi
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang hokum; misalnya cerdas sebagai pengacara
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang politik; misalnya cerdas sebagai ketua partai
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang keamanan dan pertahanan; misalnya cerdas sebagai seorang polisi
· Cerdas dalam kehidupan pada bidang global; misalnya ccerdas sebagai utusan Negara asal
· Cerdas dalam kehidupan pada wilayah pribadi; misalnya dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri
· Cerdas dalam kehidupan pada wilayah keluarga; misalnya cerdas dalam berperan sebagai ayah
· Cerdas dalam kehidupan wilayah pekerjaan; misalnya bekerja sebagai seorang dokter
· Cerdas dalam kehidupan pada wilayah kewarganegaraan/berbangsa; misalnya cerdas memberikan suara dalam Pilkada
· Cerdas dalam kehidupan pada wilayah internasional/antarbangsa; misalnya cerdas dalam bergaul dengan orang asing.
Kehidupan cerdas yang dikehendaki sebagai kehidupan yang menempuh jalan lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai dengan fitrah manusia yang berorientasi kebenaran dan keluhuran. Perilaku cerdas hendaknya disertai tindakan yang berjarakter dan perilaku berkarakter hendaknya pula diisi upaya yang cerdas. Kecerdasan dan karakter dipersatukan dalam perilaku yang berbudaya. Kehidupan cerdas tanpa disertai kehidupan yang berkarakter akan menimbulkan berbagai kesenjangan dan penyimpangan sebagaimana digambarkan terdahulu.
Nilai-nilai karakter-cerdas diperlukan dalam kehidupan yang berkarakter dan cerdas dalam wilayah pribadi sampai wilayah kehidupan berbangsa. Walaupun basisnya sudah ada sejak seorang bayi dilahirkan, yaitu HMM (harkat dan martabat manusia), namun nilai-nilai karakter-cerdas untuk berkehidupan itu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan denganupaya yang sungguh-sungguh, bahkan dengan segenap daya dan pengorbanan.
Pengembangan HMM dengan isi nilai-nilai luhur Pancasila merupakan upaya pengembangan sosok manusia seutuhnya. Sosok manusia seutuhnya itu dibentuk lebih lanjut dengan penempaan kondisi dinamik kecerdasan.
G. Penerapan Pendidikan Karakter dalam KTSP
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam glosarium (Puskur 2006) pengertian KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Berangkat dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan disebutkan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sungguh amat mulia tujuan ini.
Konsep "memanusiakan manusia" terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tersebut. Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi anak didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, jelas membutuhkan tenaga pengajar yang mempunyai integrasi dan komitmen tinggi. Komitmen agar adik didik sukses.
Pendidikan nilai istilah yang dikembangkan sekarang dengan pendidikan karakter (Ratna Megawati, 2004) menjadi target kita bersama yakni lulusan yang kita harapkan. Peserta didik yang mempunyai karakter kuat dalam keilmuan sebagai seorang pembelajar selamanya, berkepribadian dan berakhlak mulia.
Pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai moral sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang akan menjadi pemimpin rahmatan lil-alamin (rahmat alam semesta). Saatnya kita meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata sehingga tak ada idealisme menjadi seorang guru.
Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri. Mengubah paradigma dan cara berpikir ini tentu bukan hal gampang. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayanai. Guru dituntut bukan hanya mengajar, tapi mendidik.
Optimisme harus selalu ada. Setelah penggembelengan di Ramadan ini kita diingatkan kembali oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya,"Jika anak Adam meninggal dunia, putuslah segala amalnya kecuali tiga hal, sedekah jariah, anak yang saleh yang mendoakan kedua orang tuanya, serta ilmu yang diamalkan".
Secara umum pendidikan karakter memang belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa dan belum diterapkan secara holistik dalam kurikulum Pendidikan Nasional. Namun dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk menerapkan pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan, karena : pertama, KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilakspeserta didikan di masing-masing satuan pendidikan.
Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kedua, Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dan yang ketiga, Konsep pendidikan karakter terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu : Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi peserta didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
pemerintah saat ini kembali mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah guna memajukan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka di sekolah yang mampu menumbuhkan pendidikan karakter kepada anak, serta kejujuran dalam ujian sekolah atau ujian nasional. ''Hingga kini, memang belum terlihat hasilnya. Namun, kami harapkan hasil itu akan terasa hingga lima tahun ke depan. Jika tidak digulirkan kembali pendidikan karakter ini, dikhawatirkan anak-anak Indonesia bisa terancam dari sisi moral, karena keterpurukan moral tanpa ada karakter.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter yang diterapkan dalam satuan pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusian (Koesoema, 2007: 114). Di sinilah pendidikan sangat berperan dan pendidikan harus kembali kepada substansi utama yaitu membangun pribadi dengan karakter mulia sebagai individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.
H. Pendidikan Karakter Di Sekolah
Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut: “the highest and noblest office of education pertains to our moral nature. The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995). Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).
Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat Amerika maupun negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya.
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
BAB III
KESIMPULAN
a. Untuk mengatasi masalah moralitas bangsa diperlukan menerapkan pendidikan karakter.
b. Pendidikan Karakter adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi agama, sosial, budaya , yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian.
c. Penilaian pendidikan karakter lebih dititikberatkan kepada keberhasilan penerimaan nilai-nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penilaian dapat berbentuk penilaian sikap dan perilaku, baik individu maupun kelompok.
d. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
e. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
f. Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olahhati, olahpikir, olahraga, dan olahrasa-karsa.
g. Pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai moral sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang akan menjadi pemimpin rahmatan lil-alamin (rahmat alam semesta). Saatnya kita meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata sehingga tak ada idealisme menjadi seorang guru.
h. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya, yaitu: desain pendidikan karakter berbasis kelas, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, desain pendidikan karakter berbasis komunitas.
i. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
j. Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
k. Acuan yang telah ditetapkan Kemendiknas terkait pendidikan karakter adalah pengelompokan konfigurasi karakter, yakni olahhati, olahpikir, olahraga, dan olahrasa-karsa.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2006, Kumpulan PERMENDIKNAS tentang Standar Nasional Pendidikan Dan Panduan KTSP
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/11/10244662/Pendidikan.Karakter.Integral.
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
http://www.jugaguru.com/column/42/tahun/2010/bulan/05/tanggal/07/id/1085/
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/08/09/128972-pendidikan-karakter-diterapkan-dalam-kurikulum-tingkat-satuan-pendidikan
http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/pendidikan-karakter-di-sekolah-harus-sesuai-kemendiknas-31044
Nuh, Mohammad, 2010, Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, Medan; PPs Unimed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar